Sep 27, 2017

Perempuan Asing

Rabu 27 September dini hari, hujan masih nampak belum ingin menyelesaikan curahnya. Lalu lalang kendaraan masih terlihat sibuk di sekitar depan Stasiun Tugu Jogjakarta. Beberapa tukang becak memarkir becaknya berderet rapi di antara mobil-mobil yang mengkilap karena bintik air hujan. Jantungku berdegup keras, seakan hendak lepas dari kurungan tulang rusuk dalam dadaku.

Dengan tetap berusaha santai, aku memasuki gang itu. Samar-samar aku berusaha mengingat alur di dalamnya, meski tak bisa sepenuhnya. Banyak hal telah merubah wajah lokalisasi ini, termasuk Stasiun Tugu di seberangnya.

Beberapa laki-laki paruh baya duduk di bangku depan kotak uang akhir gang sebelum gang itu akhirnya bercabang dua. Dengan dingin salah seorang laki-laki dari mereka meminta 5000 rupiah untuk semacam "tiket masuk" area itu.

Masih sambil menutupi getaran lututku, aku menyusuri pelan gang-gang sempit di dalamnya. Seorang ibu paruh baya menegurku tanpa malu-malu, "Sini pak, cantik-cantik. Muda dan baru datang. Ini ada yang dari Kalimantan juga." Aku tersenyum dan bingung memikirkan jawaban untuk menolaknya. Bukan karena ingin menolak masuk ke dalam, melainkan karena aku masih gugup akan apa yang harus aku lakukan.

Aku melanjutkan langkahku dalam gang lebih dalam. Aroma bedak, hujan dan penggorengan nasi goreng bercampur serampangan di hidungku. Aku mual, bukan karena aromanya, tapi karena aku sangat gugup sendiri di dunia antah berantah ini.

Satu, dua, tiga perempuan memandangku tajam. Ada yang acuh, ada pula yang membalas senyum palsuku dengan panggilan sayang. Saat itu juga terpikir, betapa murahnya panggilan "Sayang" yang selama ini aku rindukan dan ku sakralkan.

Ada seorang laki-laki berpakaian hitam berambut klimis meraihku. Usianya mungkin seusiaku. Entah germo, calo atau mucikari. Tingginya hanya kurang lebih sebahuku, gerakannya tegas namun luwes. "Sini boss, lihat-lihat dulu nggak papa.", Katanya sambil merangkulku. Dari pundakku, tangannya meraih lubang kerah belakangku dan berusaha mengintip tattoo di punggungku. Merasa "dilancangi" aku reflek menangkis tangannya. Ia kaget lalu tersenyum dan berkata "Sangar boss!". Dengan senyum kecil di wajahnya, kutinggalkan pria tadi menuju gang lebih dalam dan lebih gelap.

Kulalui jalan gang lebih dalam, makin banyak perempuan yang duduk di kegelapan. Di antara mereka nampak seorang laki-laki bertubuh gempal sedang berbincang dengan seorang perempuan. Mungkin sedang bernegosisasi atau apa, aku tak paham. Aku merasa mual.

Gang itu kembali menuju jalan gang utama yang tadi aku lalui. Dengan canggung aku memberanikan diri duduk di antara laki-laki paruh baya yang tadi aku bayar 5000 di muka. Sesekali aku melihat layar ponselku, berusaha menutupi kegugupanku. Aku baru tersadar, tindakanku itu memancing pandangan laki-laki lain di sana. Entah karena curiga penampilanku atau mungkin karena mereka curiga apa yang akan aku lakukan dengan ponselku. Pandangan mereka negatif, aku sangat bisa merasakannya.

Aku mengamati tamu-tamu laki-laki yang berkunjung ke sana. Hampir keseluruhan berpenampilan bersih. Usia mereka tak jauh dengan usia remaja mahasiswa. Mereka datang berkelompok-kelompok. Kini aku paham alasan aku dipandangi curiga, karena aku datang sendiri.

Di sela-sela kelompok laki-laki muda itu, ibu paruh baya yang menawariku di awal memandangku. Kacamatanya ber-frame lebar dengan warna keemasan. Tubuhnya kurus dan kecil. Rambutnya putih pendek. Segera ia menghampiriku karena aku tak kunjung menarik pandanganku darinya.

"Ayo mas, lihat lagi lah. Cantik-cantik. Servis mantap, karaoke pasti dapet."

Aku meringis, bingung mau bilang apa. Secara spontan aku bilang kalimat pantangan, "Aku baru pertama kesini. Aku grogi."

"Nggak apa-apa mas, nyantai aja."

"Berapa bu tarifnya?"

"Buat mas 200 aja"

"Lha aturannya gimana?"

"Ya sekali main, Mas."

"Waktunya?"

"Ya sekali main aja.." ulangnya.

Ia menarik tanganku untuk masuk ke ruangannya. Di situ ada tiga perempuan. Aku pasrah. Aku bahkan tidak berani memandang wajah mereka. Aku didudukkan di semacam lobby ruangan itu. Sangat terasa, tiga perempuan itu memandangiku. Dahiku berkeringat dingin.

"Ayo mas, cantik lho mas. Dilihat dulu."

Pelan-pelan kuangkat kepalaku memandangi mereka. Aku sudah sampai sejauh ini, pikirku.

Perempuan pertama berpakaian merah ketat dengan rok sangat pendek. Tubuhnya tanggung, tidak terlalu gemuk, juga terlalu kurus. Wajahnya bulat berminyak. Ia sibuk memainkan ponselnya sehingga cahaya ponselnya memantul dari kilap minyak di wajahnya. Sebentar ia melihatku, lalu sibuk lagi dengan ponselnya.

Perempuan kedua agak berumur, namun tidak terlalu tua. Usianya mungkin hanya beberapa tahun di atasku. Rambutnya panjang sepinggang, beberapa nampak sudah memutih. Ia mengenakan pakaian terusan warna hitam bergaris-garis vertikal putih tanpa lengan. Kulitnya putih, tubuhnya tidak tinggi. Alisnya berwarna hitam gelap tak rapi, hidungnya mancung, mungkin keturunan Arab, mungkin India. Perempuan ini tak sekejap pun berhenti menatapku. Saat kulempar senyum, ia membalasnya dengan senyuman terpaksa. Giginya kecil-kecil nampak rapi dibalik bibir tipisnya yang berwarna merah gelap.

Perempuan ketiga, yang kata ibu tadi berasal dari Kalimantan melihatku sesekali. Ia sibuk menujukkan ponselnya pada perempuan kedua tadi lalu terbahak bersama. Mungkin sedang menujukkan kelakar temannya atau apa, entahlah. Kulitnya lebih putih dari perempuan kedua. Tubuhnya kurus kecil, tattoo di sepanjang lengan dan kedua kakinya nampak sangat kontras dengan warna kukitnya yang putih. Rambutnya lurus rapi ber-highlight merah tua. Saat ia berkelakar, nampak barisan behel berwarna biru muda melindungi deretan giginya. Kalau aku masih berusia muda jaman ini, aku pasti akan memilih dia.

Aku memalingkan wajahku dari mereka dan lalu bertanya pada ibu tadi. "Berapa bu? Apa bisa aku minta waktu tambahan untuk ngobrol dulu sebelum main?"

Ibu tadi menjawab "Nambah 50 ya mas."

Entah apa yang ada di pikiranku waktu itu, aku segera mengiyakan. Berharap waktu yang canggung ini segera berakhir.

"Oke mas, yang mana?" Tanya ibu tadi.

"Mbak itu." Kutunjuk perempuan kedua dengan jempolku.

Perempuan paruh baya tadi berdiri lalu masuk ke dalam menyiapkan sesuatu. Perempuan pilhanku juga berdiri lalu segera menuju ke lantai dua. Aku berdiri, mengikuti mereka sambil menyiapkan lima lembar uang 50 ribu. Tulang-tulangku lemas, aku seakan tak percaya aku benar-benar berada di situasi itu.

Aku berjalan di koridor antara kamar-kamar kecil lantai dua. Warna cat interior bangunannya berwarna krem pudar, mengelupas di sana-sini. Stiker-stiker produk apapun, event apapun, bahkan nama perkumpulan hobi menghiasi tiap pintunya. Betapa sempitnya tempat ini, pikirku.

Aku tak lagi melihat perempuan paruh baya tadi setelah aku melunasi pembayarannya. Kini aku hanya ditemani "si perempuan kedua" di sepanjang koridor. Tangannya yang kecil meraba dalam tas di ketiaknya, mengeluarkan kunci gembok kemudian membuka salah satu pintu kamar di situ.

Luas kamarnya terhitung sempit. Kurang lebih 3 x 2 meter. Aku melihat ada sebuah televisi tabung besar dengan sebuah boneka beruang warna pink besar di atasnya. Ada sebuah rak lemari, pakaian-pakaian dalam bergantungan di balik pintu, dan kasur busa di lantai. Lantainya dari semen yang ditutupi karpet plastik. Satu yang paling kuingat dari kamar itu adalah aromanya, semacam aroma parfum bedak yang pekat.

Aku duduk di tepi kasur, pelan-pelan kulepas sepatu bootku lalu kuletakkan di dekat pintu. Perempuan itu duduk di sampingku dengan kedua kakinya di dekapannya. Kemudian aku berbalik menghadap perempuan itu. Aku masih diliputi ribuan pikiran, belum ada nafsu yang terasa di tubuhku.

***

Ia kemudian meluruskan kakinya di pangkuanku. Jari kakinya kecil-kecil dengan pewarna kuku merah yang terkikis. Pelan-pelan kuusap betisnya dengan tanganku. Kakinya berbulu, nampak lebih jelas di atas kulitnya yang putih. Terlintas di kepalaku, ini wanita yang tepat, aku suka akan rambut di tubuh perempuan.

Ia bernama Yuni, nama yang mustahil akan ku lupa hingga aku pikun atau demensia nanti. Ia bertanya mengenai status pernikahanku, mungkin hanya untuk sekedar mencairkan suasana. Aku menggeleng kepala sambil tersenyum. Wajahnya tampak mengejek. Pelan-pelan aku pijit betisnya, berangsur gugupku berubah menjadi nafsu. Aku masih laki-laki, pikirku.

Tanpa perintah, ia melepas pakaiannya satu persatu sementara kakinya masih ada di atas pangkuannku. Kini ia sama sekali tak berbusana, sedangkan aku masih berpakaian lengkap. Sosok perempuan telanjang yang selama ini hanya ada di pikiran, media dan internet, kini benar-benar ada di depanku. Mendadak darah di punggungku panas. Aku berdiri dan menanggalkan seluruh pakaianku lalu duduk di belakang perempuan itu.

Aku ingat masa-masa erotis dengan mantan kekasihku 10 tahun lalu dan ingin kuulang. Belakang leher adalah bagian tubuh favoritku. Aku sibak rambut panjang perempuan itu dan pelan kuciumi belakang lehernya. Ia terkikih, mungkin geli. Aroma rambutnya menyenangkan. Suasana hatiku sudah tak lagi kalut, bahkan sama sekali tidak terpikir. Satu lagi yang kuingat dari dia, ia memiliki tahi lalat di leher kanannya.

Aku merasakan kenyamanan yang aku rindukan selama ini. Kupeluk dia erat, kurekayasa pikiranku seolah perempuan ini adalah pasanganku. Dengan lembut kuciumi pundaknya yang berada tepat di depan hidungku. Kedua tangannya kugenggam. Jari-jari tangannya yang kecil seolah tak cukup mengimbangi panjang jemariku. Aku sudah sangat bahagia dengan memainkan jari-jari kecilnya, aku sudah ereksi hanya dengan menciumi pundaknya.

Dengan sedikit isyarat, aku memintanya merebah di kasur busa. Aku mendapati tubuh perempuan itu dihiasi bulu ketiak dan rambut pubis yang tidak dicukur. Mungkin untuk beberapa orang rambut di tubuh wanita terdengar menjijikkan, namun beda halnya denganku. Rambut pada tubuh perempuan adalah simbol kematangan dan kebebasan. Ah! Dengan ingatan untuk menuliskan ini, penisku kembali ereksi.

Tatapan matanya sayu tertuju pada mataku saat kuciumi pahanya. Aku senang memandangi kemaluannya yang ada tepat di depanku, rambut pubisnya bersih dan tak berbau. Rintihan perempuan ini makin membuatku bergairah saat aku menyentuhnya. Sekali lagi, perempuan ini merawat kemaluannya hingga aku sangat nyaman bermain dengannya, bahkan saat ia bersekresi sekalipun.

Ia membuka segel kondom dengan jemarinya yang kecil, memasangkan dengan pelan dari ujung penisku. Aku tidak pernah dilayani seprivat ini, terutama soal seks. Aku tindih tubuhnya dan berusaha melakukan penetrasi, ia membantuku.

Tepat di depan wajahku, kulihat jelas garis-garis kerut wajah perempuan itu seolah bercerita banyak tentang usianya. Kulihat jelas beberapa helai rambutnya yang beruban di atas dahinya tampak mengkilap seperti berkilau. Kukecup bibirnya sembari bersetubuh dengannya. Sementara itu, kedua kakinya yang pendek tetap melingkar di pinggulku, mengikuti irama gerakanku.

Aku dorong dalam-dalam penisku sembari memeluk erat tubuhnya tepat di saat kantung kondomku terisi. Kami berdua diam berpelukan. Suasana tiba-tiba menjadi tenang dan hening. Saking tenangnya hingga aku bisa mendengar nafas dan merasakan degup jantung perempuan itu.

Sambil memejamkan mata, aku merasakan hangatnya ikatan antara aku dan dia melalui senggama singkat antara dua orang yang tidak saling kenal sebelumnya. Entah apa yang dirasakan perempuan itu, tapi aku merasa sudah sangat mengenal perempuan itu jauh sebelum kita bertemu hanya karena seks singkat ini.

Agak sedikit aneh dan tidak masuk akal saat kupikirkan hal itu saat ini, namun detik itu juga, aku kira seks adalah hal lumrah yang membuat semua hal menjadi masuk akal. Ah, aku terlalu banyak memikir dan merasa!

***

Aku menyelipkan dua lembar 50.000 rupiah di tangannya. Ia tersenyum dan berterimakasih. Sebelum pulang ia bertanya sekali lagi untuk memastikan, apakah aku sudah pernah menikah atau belum. Aku hanya menjawabnya dengan sebuah kecupan di dahinya. Itulah saat terakhir ku lihat senyum cantik di wajah perempuan asing itu, entah sampai kapan lagi.