Hari ini, hari Kamis 22 September 2011 tengah malam. Di depan komputer, saya mengetik satu rangkaian kata tak beraturan, jurnal kecil tak bersastra untuk saya taruh di blog saya ini. Saya menulisnya di sebuah file notepad yang saya simpan di desktop komputer, dengan maksud akan saya copas ke blog ini entah kapan. Memang saya rasa blog ini tidak berguna untuk siapapun yang membacanya. Bukan suatu masalah besar, saya pernah membaca blog orang iseng yang isinya jauh lebih iseng dari blog saya ini. Itupun saya menyukainya. Hehehe..
Sebatang rokok Surya eceran terlentang tegak lurus di bibir asbak saya. Pipi dekat hidung kanan saya nyeri luar biasa. Suasana hening, tidak ada suara angin atau suara apapun. Yang terdengar hanya suara tuts keyboard, kipas CPU dan roda hamster saya yang tidak berhenti berputar (hamster saya hamster metroseksual, gila fitness).
Selagi saya ingat, saya ingin berbagi sedikit tentang hari ini. Salah satu hari diantara ribuan hari-hari saya yang lain. Sebuah hari Kamis yang cerah, berangin lumayan kencang dengan penghujung sore yang saya rindukan selama ini, sore kuning keemasan. Malam ini juga salah satu malam favorit saya. Langit cerah secerah-cerahnya. Bintang bertaburan banyak sekali bila dilihat dari rumah saya yang jauh dari kota. Bila di-personifikasi-kan, langit lagi ingin bermanja-manja genit dengan banyak manusia di bawahnya.
Kamis pagi ini saya terbangun lumayan telat. Jam 8.30. Sarapan nasi, kuah bayam (orang Jawa biasa mengenalnya dengan Jangan Bening), dan Dadar Jagung (beberapa tempat di Jawa biasa memanggilnya dengan bakwan). Setelah cuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi saya siram ketiak saya dengan cologne murah yang sudah tinggal sekali pakai lalu segera berangkat dengan motor kesayangan saya menuju kampus.
Lalu lintas antara Kota Batu dan Kota Malang sangat bersahabat pagi itu. Tidak terlalu macet dan tidak terlalu longgar. Beberapa kali saya memberi jalan sambil tersenyum ramah kepada para penyeberang jalan yang mencari sela untuk menyeberang. Rasanya luar biasa, serasa tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih baik dari saya. Hehehe..
Saya tiba di kampus untuk mengikuti kelas yang harusnya sejak dulu sudah saya lewati. Cewek-cewek MABA (Mahasiswa Baru) mengenakan almamater berjalan berkelompok dari segala penjuru kampus. Beberapa dari mereka tampak sangat menggemaskan, ingin copot saja rasanya jantung ini (hihihi..). Beberapa dari mereka juga tampak sangat menjengkelkan. Berbangga diri dengan mobil mewah orang tuanya, make-up seperti buah cempedak dan masih banyak lagi. Rasanya seperti saya ingin masuk jurang saja. (hahahahahaha..)
Depan papan pengumuman beberapa mahasiswa fakultas saya berkerumun sambil menggerutu protes. Ya, jadwal kuliah di-revisi. Mata kuliah yang seharusnya saya ambil hari ini ternyata diganti hari Selasa kemarin. Bahkan kata teman saya, dosen yang seharusnya mengajar teman saya juga ikut-ikutan protes.
"Kuliahnya ganti hari juga, Mas?" tanya seorang cewek pada saya.
"Eh, kamu. Aku kira siapa. Iya, ini malah diganti hari Selasa. Nanggung, mending diganti hari Minggu sekalian." Candaku garing.
"Kamu ngapain masih kuliah, inget umur." timpalku lebih garing lagi.
"Ya ampun mas, harusnya aku yang bilang gitu ke Mas." jawabnya.
Cewek tadi tertawa menutupi mulutnya, matanya jadi terlihat seperti garis lengkung di balik kacamatanya yang lumayan tebal. Tangannya putih kecil, jemarinya pendek-pendek mirip bidak pion di meja catur. Cewek ini cewek yang saya taksir beberapa bulan kemarin saat saya memberikan materi di acara camp pelatihan pembuatan film independen fakultas saya. Dia tidak cantik, malah banyak yang bilang dia mirip Ugly Betty. Ya, namanya juga selera, menurut saya, makin kutu buku, makin cantik.
Cewek itu pamit menuju parkiran, balik ke kost, mau nerusin tidur katanya. Saya iseng menuju ruang pegawai akademik lantai dasar gedung tersebut. Salah satu pegawai penjaga absensi duduk di depan komputer sedang asyik bermain poker facebook.
"Wah, bagi chips dong mas. Banyak banget chipsnya. Hahaha.." kataku.
Sambil buru-buru membuka microsoft excel dia menutupi kegiatanya. Terdengar suara ting-ting-ting, tanda kalau sudah waktunya dia ikut taruhan.
"Halah nyante mas. Aku bukan rektor" candaku.
"Ternyata kamu Pras. Kaget aku." katanya sambil kembali menaikkan taruhan.
Dia menutup tab poker-nya setelah kartu two pair-nya kalah dengan full house pemain lawannya. Lalu ia membuka sebuah situs download-an film-film box office gratis dan mulai mengecek film-film baru yang ada di situ. Di ruangan itu tercium bau hangus. Sangat tajam.
"Ini bau apa mas? Gak bahaya?" tanyaku.
"Oo, ini lho, ketel listrik. Mau bikin kopi lupa cabut. Malah yang aku cabut jack listrik sound komputer." jawabnya nyengir.
"Hahahaha, sampe item gitu.. Aku kira ada Ngaben."
Dia tertawa lepas sambil memukul lenganku. Pegawai itu mungkin seumuran denganku. Badannya kecil namun berotot. Pagi itu, ia bercerita banyak tentang kota asalnya, hobi dia memancing, dan rute perjalanan pulangnya yang 'angker'. Kesederhanaan tampak di setiap tata tuturnya. Kalau saya boleh percaya nasib, mungkin nasib adalah 'sesuatu' yang tidak adil. Banyak mahasiswa bersliweran dengan pakaian yang bagus, kendaraan mewah dan gaya hidup yang mahal di depan kami. Sedangkan para pegawai kampus yang sudah jelas membantu mereka untuk memperoleh ilmu, hampir tidak bisa memperoleh apa yang mereka bantu kerjakan selama ini. Apa masalahnya? Uang? Saya rasa hal itu bukan sebuah masalah bagi kampus bila ingin meberikan sekedar ilmu 'cuma-cuma' pada orang-orang loyal seperti dia. Andai saya benar-benar rektor di kampus saya, saya ingin SEMUA pegawai di kampus ini bisa mengikuti perkuliahan seperti mahasiswa-mahasiwa yang mereka layani. Sayang, kampus ada untuk uang, bukan untuk ilmu.
Sebatang rokok Surya eceran terlentang tegak lurus di bibir asbak saya. Pipi dekat hidung kanan saya nyeri luar biasa. Suasana hening, tidak ada suara angin atau suara apapun. Yang terdengar hanya suara tuts keyboard, kipas CPU dan roda hamster saya yang tidak berhenti berputar (hamster saya hamster metroseksual, gila fitness).
Selagi saya ingat, saya ingin berbagi sedikit tentang hari ini. Salah satu hari diantara ribuan hari-hari saya yang lain. Sebuah hari Kamis yang cerah, berangin lumayan kencang dengan penghujung sore yang saya rindukan selama ini, sore kuning keemasan. Malam ini juga salah satu malam favorit saya. Langit cerah secerah-cerahnya. Bintang bertaburan banyak sekali bila dilihat dari rumah saya yang jauh dari kota. Bila di-personifikasi-kan, langit lagi ingin bermanja-manja genit dengan banyak manusia di bawahnya.
Kamis pagi ini saya terbangun lumayan telat. Jam 8.30. Sarapan nasi, kuah bayam (orang Jawa biasa mengenalnya dengan Jangan Bening), dan Dadar Jagung (beberapa tempat di Jawa biasa memanggilnya dengan bakwan). Setelah cuci muka dan gosok gigi, tanpa mandi saya siram ketiak saya dengan cologne murah yang sudah tinggal sekali pakai lalu segera berangkat dengan motor kesayangan saya menuju kampus.
Lalu lintas antara Kota Batu dan Kota Malang sangat bersahabat pagi itu. Tidak terlalu macet dan tidak terlalu longgar. Beberapa kali saya memberi jalan sambil tersenyum ramah kepada para penyeberang jalan yang mencari sela untuk menyeberang. Rasanya luar biasa, serasa tidak ada orang lain di dunia ini yang lebih baik dari saya. Hehehe..
Saya tiba di kampus untuk mengikuti kelas yang harusnya sejak dulu sudah saya lewati. Cewek-cewek MABA (Mahasiswa Baru) mengenakan almamater berjalan berkelompok dari segala penjuru kampus. Beberapa dari mereka tampak sangat menggemaskan, ingin copot saja rasanya jantung ini (hihihi..). Beberapa dari mereka juga tampak sangat menjengkelkan. Berbangga diri dengan mobil mewah orang tuanya, make-up seperti buah cempedak dan masih banyak lagi. Rasanya seperti saya ingin masuk jurang saja. (hahahahahaha..)
Depan papan pengumuman beberapa mahasiswa fakultas saya berkerumun sambil menggerutu protes. Ya, jadwal kuliah di-revisi. Mata kuliah yang seharusnya saya ambil hari ini ternyata diganti hari Selasa kemarin. Bahkan kata teman saya, dosen yang seharusnya mengajar teman saya juga ikut-ikutan protes.
"Kuliahnya ganti hari juga, Mas?" tanya seorang cewek pada saya.
"Eh, kamu. Aku kira siapa. Iya, ini malah diganti hari Selasa. Nanggung, mending diganti hari Minggu sekalian." Candaku garing.
"Kamu ngapain masih kuliah, inget umur." timpalku lebih garing lagi.
"Ya ampun mas, harusnya aku yang bilang gitu ke Mas." jawabnya.
Cewek tadi tertawa menutupi mulutnya, matanya jadi terlihat seperti garis lengkung di balik kacamatanya yang lumayan tebal. Tangannya putih kecil, jemarinya pendek-pendek mirip bidak pion di meja catur. Cewek ini cewek yang saya taksir beberapa bulan kemarin saat saya memberikan materi di acara camp pelatihan pembuatan film independen fakultas saya. Dia tidak cantik, malah banyak yang bilang dia mirip Ugly Betty. Ya, namanya juga selera, menurut saya, makin kutu buku, makin cantik.
Cewek itu pamit menuju parkiran, balik ke kost, mau nerusin tidur katanya. Saya iseng menuju ruang pegawai akademik lantai dasar gedung tersebut. Salah satu pegawai penjaga absensi duduk di depan komputer sedang asyik bermain poker facebook.
"Wah, bagi chips dong mas. Banyak banget chipsnya. Hahaha.." kataku.
Sambil buru-buru membuka microsoft excel dia menutupi kegiatanya. Terdengar suara ting-ting-ting, tanda kalau sudah waktunya dia ikut taruhan.
"Halah nyante mas. Aku bukan rektor" candaku.
"Ternyata kamu Pras. Kaget aku." katanya sambil kembali menaikkan taruhan.
Dia menutup tab poker-nya setelah kartu two pair-nya kalah dengan full house pemain lawannya. Lalu ia membuka sebuah situs download-an film-film box office gratis dan mulai mengecek film-film baru yang ada di situ. Di ruangan itu tercium bau hangus. Sangat tajam.
"Ini bau apa mas? Gak bahaya?" tanyaku.
"Oo, ini lho, ketel listrik. Mau bikin kopi lupa cabut. Malah yang aku cabut jack listrik sound komputer." jawabnya nyengir.
"Hahahaha, sampe item gitu.. Aku kira ada Ngaben."
Dia tertawa lepas sambil memukul lenganku. Pegawai itu mungkin seumuran denganku. Badannya kecil namun berotot. Pagi itu, ia bercerita banyak tentang kota asalnya, hobi dia memancing, dan rute perjalanan pulangnya yang 'angker'. Kesederhanaan tampak di setiap tata tuturnya. Kalau saya boleh percaya nasib, mungkin nasib adalah 'sesuatu' yang tidak adil. Banyak mahasiswa bersliweran dengan pakaian yang bagus, kendaraan mewah dan gaya hidup yang mahal di depan kami. Sedangkan para pegawai kampus yang sudah jelas membantu mereka untuk memperoleh ilmu, hampir tidak bisa memperoleh apa yang mereka bantu kerjakan selama ini. Apa masalahnya? Uang? Saya rasa hal itu bukan sebuah masalah bagi kampus bila ingin meberikan sekedar ilmu 'cuma-cuma' pada orang-orang loyal seperti dia. Andai saya benar-benar rektor di kampus saya, saya ingin SEMUA pegawai di kampus ini bisa mengikuti perkuliahan seperti mahasiswa-mahasiwa yang mereka layani. Sayang, kampus ada untuk uang, bukan untuk ilmu.