Sep 23, 2011

Hari Ini Hari (Incredible) Kamis vol 2.0

Saat saya menulis ini, pipi kanan saya nyeri luar biasa. Tidak ada lebam atau memar bila dilihat dengan cermin. Aneh, tapi sangat mengganggu.

Kembali ke pagi ini. Saya berpamitan dengan pegawai absensi tadi. Sebatang rokok Marlboro terselip di sudut bibir saya. Sungguh dermawan pegawai itu. Mungkin pendapatannya bisa dibilang tidak banyak. Namun masih saja menawari saya rokok. Tentu saja saya tidak menolak. Hehe..

Fakultas saya punya dua gedung. Gedung yang lama sudah reyot dan angker namun masih sering dipakai. Sedangkan yang satu lagi baru saja selesai dibangun, bangunanya megah. Warnanya dominan oranye, mirip kotak pos raksasa. Jarak dari gedung pertama dan kedua kira-kira 500 meter. Dari gedung pertama, saya berjalan kaki menuju gedung kedua. Cuaca sangat cerah. Saat menengadah ke langit, tampak awan gendut berarak-arakan sedikit cepat dengan latar belakang biru muda yang tegas. Cantik sekali. Andai saya tidak buta warna, mereka akan jauh terlihat cantik dari apa yang saya lihat.


Gedung Baru milik fakultas saya. Mirip Kotak Pos bukan?

Angin kencang tiba-tiba mendorong saya hingga saya mundur selangkah di perjalanan saya menuju ke gedung kedua. Musim angin, kata banyak orang bilang. Misalkan saya berdiri di tengah jalan selama dua hari, sudah pasti saya masuk angin.

Di ruang pelayanan kelas gedung kedua, saya masuk sendiri. Ada sekitar tujuh pegawai di ruangan tersebut. Saya satu-satunya mahasiwa di ruangan itu. Saya meminta transkrip (semacam rapor anak kuliahan) pada salah satu pegawai yang berwenang. Dia terkejut. Luar biasa buruknya nilai saya. 'Usia' saya di kampus ini sudah kurang dari empat semester lagi. Lebih dari empat semester itu bila saya masih belum lulus, saya akan diluluskan paksa tanpa gelar oleh 'mereka'.

Mood saya yang sebelumnya ada di level Elated (seperti dalam game The Sims 3) kemudian mendadak turun menjadi Fair. Rasanya yang tadi saya naik karpet ajaib di angkasa, tiba-tiba ditabrak oleh truk molen (truk pembawa semen yang bak-nya berputar terus supaya semennya tidak mengeras dan mirip kue molen).

Pelan-pelan saya naik tangga berjalan menuju lantai tiga gedung baru tersebut. Saya ingin bertemu dengan dosen pembimbing akademik saya. Sejak kecil sebenarnya saya membenci lift. Selain bikin mual, ada perasaan semacam paranoid seperti yang terjadi di film-film dewasa Jepang semacam itu.

Di ruang dosen saya mengantre konsultasi. Mirip suasana ibu-ibu hamil yang ingin check-up kandungannya. Selama mengantre, pikiran saya tidak ada di ruangan itu. Saya ketakutan. Saya benar-benar menyesal. Yaa, semua sudah terlambat. Andai saya dulu rajin kuliah, pasti sekarang saya sudah jadi pengangguran bergelar sarjana. Penyesalan pasti datangnya terakhir. Kalau penyesalan di awal namanya bukan penyesalan, tapi emang niat.

"Waduh, nilai-nilaimu, Pras.." kata pak dosen

Saya hanya diam, memandang cincin kawin berwarna emas yang dipakai pak dosen di tangan kirinya. Tidak ada yang menarik dari hal itu. Namun saya merasa lebih nyaman saja saat tidak memandang orang itu langsung ke mata.

"Pras..??" Dia bertanya.

"Oh, eh, maap pak.." saya terkejut.

"Gimana?" Tanyanya lagi.

"Eh, iya pak, saya menyesal."

"Apanya? Saya tanya rencanamu ke depannya mau ngapain."

Si dosen menaikkan nada suaranya, semua diucapkannya dengan Bahasa Jawa Halus (dalam bahasa Jawa ada beberapa tingkatan 'kesopanan' dalam bertutur kata. Bahasa tersebut dipakai untuk membedakan status sosial / usia lawan bicara dengan si pengucap. Semakin terhormat lawan bicaranya, makin halus bahasa yang digunakan)

"Ya, saya ingin bisa lulus, dengan nilai apapun." jawab saya tidak nyambung dan terbata-bata.

"Hmm, saya sering melihatmu di kampus akhir-akhir ini. Kalau di semseter ini absensimu nggak pernah bolong dan selalu mengumpulkan tugas, Saya yakin tahun depan kamu bisa lulus."

Entah dia hanya menghibur saya atau hanya ingin mencegahku bunuh diri, namun kata-kata sang dosen terhadapku sedikit menenangkanku. Paling tidak setelah tertabrak truk molen tadi, saya masih bisa berjalan menepi dan bisa meneguk segelas es kelapa muda di tepi jalan.

Dosen tadi tersenyum saat saya pamit meninggalkan ruanganya. Saya turun pelan-pelan lagi menuju lantai dasar gedung baru fakultasku. Kepala saya masih berdenyut-denyut. Mungkin karena angin, mungkin karena masih terpikir yang tidak-tidak.

Sesaat kemudian dekat pangkal paha saya bergetar. Saya kira saya cedutan, tapi menggelikan (hehe..) ternyata HP saya didatangi SMS. Seorang teman lama se-jurusan yang sudah hampir lulus menyapaku, menanyakanku di mana aku saat itu. Sesaat kami SMS-an, kami akhirnya bertemu di teras gedung. Ia mengenakan sandal gunung, jaket kulit, t-shirt awas kita pecah-nya dan topi belel kesayangannya. Ialah salah satu orang yang mengenal saya dengan sangat baik sejak saya di-OSPEK lima tahun silam. Jalan pikiran kami hampir sama, begitu juga dengan gaya berpakaian, musik favorit, ke-kampungan-an dan gaya bicara kami. Satu yang berbeda di antara kami, NIAT KULIAH kami.

Siang itu angin melewati kami kasar sekali. Kami berdua menggigil merapatkan jaket yang kami kenakan. Cuaca terik, namun angin yang berhembus sangat dingin. Orang yang tidak biasa di Kota Malang pasti sudah sakit malam ini juga. Kami bercerita banyak tentang masa-masa kami dulu. Tak terasa mood saya kembali pulih.

Sesaat kemudian salah seorang teman saya duduk dan bergabung bersama kami. Kami memutuskan untuk bermain kartu Remi (salah satu permainan kartu populer di daerah kami dan banyak tempat lainnya). Permainan kartu kami menjadi hal yang ganjil di tempat itu. Teras gedung kampus nampaknya bukan tempat yang cocok untuk bermain kartu. Beberapa dosen melihat kami layaknya pengangguran berkedok mahasiswa. Beberapa mahasiswa 'sok aktivis' melihat kami tak punya masa depan. Banyak dari mereka melihat kami benar-benar morron. Sudah tahu banyak angin, masih saja main kartu. Hahaha,memang, sedikit 'menantang' bermain di tengah angin yang besar di daerah terbuka. Beberapa dari kartu kami berterbangan kian kemari.