Sep 23, 2011

Hari Ini Hari (Incredible) Kamis vol 5.0 - end

Saya rasa tulisan ini tidak akan indah dengan adanya volume 5.0 ini. Mengapa saya berpikiran seperti itu? Ya, banyak orang menginginkan keindahan di setiap akhir cerita. Tidak munafik, saya pun demikian. Itulah gunanya hiburan. Tetapi tulisan ini adalah sebuah jurnal, bukan hiburan.

Hmm, saya agak malu bercerita kali ini..

Sesampainya di rumah, hari Kamis yang indah itu, saya segera menuju kamar mandi untuk mandi. Maklum, harus menebus yang tadi pagi. Saya belum mandi seharian (hehe). Setelah mandi, saya iseng menonton televisi. Tidak ada program acara yang menarik di masing-masing stasiun televisi yang ada. Saya memutuskan untuk melihat acara kartun impor yang pernah booming di Indonesia, Spongebob Squarepants.

Berbicara mengenai Spongebob, serial ini sebenarnya tidaklah mudah untuk dicerna anak-anak. Menurut saya, minimal Anda adalah siswa SMA supaya bisa tertawa memahami guyonan dari serial Spongebob. Kata-kata yang dipakai sebenarnya adalah kata-kata terjemahan. Yang pastinya tidak akan lucu bila hanya diartikan dengan Bahasa Indonesia saja, namun harus dipahami juga dengan pengertian bahasa Inggris Amerika.

Lalu, mengapa banyak anak kecil di kampung saya sangat senang dengan atribut-atribut atau merchandise Spons Bercelana Kotak ini? Apakah anak jaman sekarang sudah luar biasa pandai dari jaman saya anak-anak dulu? Atau apakah mereka mengidolakan sosok kuning yang berteman dengan bintang laut berwarna pink hanya karena penampilan mereka lucu? Tahukah mereka Sponge itu hewan laut yang sering dipakai ibu mereka saat mencuci piring? Apa jangan-jangan mereka berpikiran sama dengan saya saat saya pertama kali melihat Spongebob bahwa Spongebob itu keju?

Ah, banyak pertanyaan. Hal itu membuat saya makin lelah. Saya mematikan televisi dan pindah ke kamar untuk tidur. Dengan posisi yang tidak biasanya, saya tidur melintang di tempat tidur saya. Hingga tertidur pulas.

Tepat pukul 23.30, saya terbangun, posisi tidur saya sudah benar seperti biasanya. Saya lupa apa yang terjadi, namun yang jelas, wajah saya nyeri luar biasa. Saat saya sentuh pipi dekat hidung saya, rasanya lebih nyeri lagi. Rasanya mirip ditinju teman saya dulu waktu SMP, dan kemudian sekarang dia sudah menjadi angkatan laut.

Saya cuci muka, duduk di ruang televisi dan kemudian mencoba mengingat apa yang terjadi. Sambil berusaha sadar dari sleep lag, saya menyulut rokok pertama saya di hari Jum'at ini. Pernahkah Anda sekalian merasakan sleep lag? Hahaha, memang tidak ada istilah itu, namun menurut saya, istilah itu ialah istilah yang paling tepat menggambarkan kondisi kita yang 'belum penuh' setelah bangun tidur. Mungkin orang-orang psikologi tahu istilah ilmiah sebenarnya.

Kemudian saya teringat sesuatu. Memang kedengarannya tidak masuk akal. Saya pun berpikiran seperti itu.

Selama tidur saya bermimpi banyak sekali, tidak jelas, beberapa ada yang sudah lupa. Namun ada satu bagian dari mimpi saya yang saya ingat dengan jelas.

Saya bermimpi suatu malam saya mengemudikan sebuah kendaraan. Saya tidak tahu kendaraan apa. Jalan itu tampak lengang dan panjang. Tidak ada satu pun lampu penerangan di tepi jalan, namun jalanan tampak terang. Bisa jadi dari terang bulan purnama. Setelah mengemudi agak jauh, saya melihat dari kejauhan tampak lampu sirine polisi dan banyak antrean kendaraan. Sudah pasti itu adalah operasi pemeriksaan surat keterangan kendaraan dan surat lisensi mengemudi. Dalam mimpi saya, saya sudah sangat yakin tidak membawa surat-surat tersebut. Saya berbalik arah menjauhi operasi tersebut. Banyak dari teman-teman saya yang saya kenal ikut berbalik arah juga. Hingga saya sampai di suatu tempat malam itu dan sudah tidak lagi mengendarai kendaraan.

Saya sampai di sebuah bukit menghadap ke sebuah kota. Lampu-lampu kota terlihat indah dari situ. Ada satu bukit nyata yang saya tahu mirip dengan kondisi dalam mimpi saya tersebut. Ya, tempat itu mirip Gunung Banyak di Kota Batu, atau banyak di kenal sebagai Gunung Paralayang, tempat orang-orang berlatih paralayang. Anehnya dalam mimpi saya, bukit tadi banyak terdapat villa / tempat peristirahatan kecil. Tempat itu pula benar-benar ada di kehidupan nyata, namanya Kompleks Villa Songgoriti, lengkap dengan 'lokalisasi terselubung' juga. Beberapa losmen di Songgoriti menyajikan banyak 'teman kencan' untuk pria-pria yang sengaja datang ke situ (kalau ingin tahu, lain kali akan saya bahas).

Pemandangan sebenarnya dari atas Gunung Banyak (Gunung Paralayang), sesaat setelah sunrise.

Dalam mimpi saya, para 'calo' tadi mulai menawari tempat tinggalnya pada saya, berharap saya menginap di tempat mereka. Beberapa di antara mereka adalah ibu-ibu (biasa dikenal dengan sebutan 'mami'). Satu atau dua rumah secara terang-terangan memamerkan 'teman kencan' pada saya, berharap saya mampir. Tidak, saya tidak ada maksud untuk datang ke tempat ini. Saya tersesat di sini, pikirku.

Sesaat saya berjalan beberapa langkah di areal tersebut, terdengar suara sirine yang makin lama makin dekat. Banyak di antara mereka bersembunyi dalam ruangan. Pria-pria hidung belang pun banyak yang berlari atau memilih untuk masuk ke dalam salah satu losmen secara random. Saya gugup, saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan.

Salah satu 'mami' menarik tanganku, ia bilang hendak menolongku. Menyuruhku masuk ke dalam rumahnya. Naluri saya, ini sebuah setting agar saya mau menginap di rumahnya. Saya menolaknya, ia bersikeras itu adalah sebuah pertolongan. Sekali lagi saya menolaknya. Saya hanya tidak mau masuk. Entah mengapa saya tidak mau. Andai itu kenyataan, saya tidak mau masuk dengan alasan saya takut kena charge keamanan atau kena uang 'perlindungan'.

'Mami' tadi berhenti menarik saya. Ia menutup pintu rumahnya dari dalam. Ada sedikit perasaan menyesal karena telah menolaknya. Saya merasa mungkin dia benar-benar ingin menolong saya. Tiba-tiba, sebuah lengan kekar memelintir tangan kanan saya dan mejatuhkan badan saya ke lantai. Lutut pria tadi ia letakkan ke belakang kepalaku. Kemudian ia membuat saya berlutut di hadapanya dan beberapa polisi datang juga menghampiriku.

Saya lupa apa yang mereka tanyakan pada saya. Saya hanya menjawab saya tidak tahu. Apapun yang mereka tanyakan pada saya, saya jawab tidak tahu. Saya benar-benar ketakutan dalam mimpi itu. Di kanan dan kiri saya dijajarkan banyak pria dengan posisi yang sama dengan saya, berlutut. Mirip tawanan Nazi di film-film Perang Dunia II. Di sebuah tanah lapang di kiri saya, sederet perempuan dipaksa berlutut juga seperti kami. Saya tidak melihat satu Polwan (Polisi Wanita) pun di sana.

Beberapa dari kami di angkat untuk dimasukkan dalam sebuah mobil tahanan besar di belakang kami. Tiba giliran saya. Saya di angkat, namun dilepaskan. Bukan untuk di masukkan dalam mobil tahanan tadi. Saya lupa lagi apa yang mereka katakan. Kemudian salah satu dari mereka meninju pipi saya keras sekali, dekat hidung. Gigi saya rontok di lantai bercampur darah.

Sayup-sayup terdengar suara jeritan dari barisan perempuan yang ada di sebelah kiri saya tadi meminta saya untuk menolong mereka. Saya tidak berani menoleh pada mereka. Saya hanya tertunduk, melihat ceceran darah dan gigi saya di lantai.

Selebihnya saya lupa hingga terbangun. Bukan sebuah akhir cerita yang diharapkan memang. Namun saya merasa hari Kamis ini benar-benar komplit. Saya tidak bisa mengira-ngira apa yang terjadi selama saya tidur, hingga pipi saya terasa sakit sampai saat ini. Kondisi psikologis? Ngelindur? Gendruwo? Kejedot tembok?