Pagi ini, Jum'at, 23 September 2011, burung-burung kecil sudah ribut berkicau di luar rumah saya. Ditemani salah satu anjing saya, saya melihat langit. Langit di luar putih kapas dengan awan berwarna kusam. Bukan karena masih gelap, tapi memang kelihatan mendung. Seperti anak kecil yang matanya sembab, semalaman menangis. Kemudian saya masuk kembali ke kamar saya, menyulut sebatang rokok kretek saya dan meneruskan cerita saya tentang hari Kamis kemarin.
Sore itu, sekitar pukul 17.00, saya mengendarai sepeda motor saya, menyusuri jalan-jalan raya di Kota Malang. Beberapa polisi lalu lintas mengisyaratkan tangan mereka pada saya untuk menyalakan lampu kendaraan. Saya menyalakannya lalu setelah beberapa meter saya matikan lagi. Maklum, saya ikut program hemat energi 17.00 - 22.00. Hehehe..
Langit sore itu berwarna kuning keemasan. Salah satu warna langit sore yang paling saya nantikan. Biasanya langit sore seperti itu memang dijumpai di perpindahan musim atau pada bulan-bulan penuh (sekitar tanggal 15 penanggalan masehi). Namun sore itu lain. Seakan suasana sore itu membuat saya tidak sadar bahwa saya lelah. Warna 'mereka' sepertinya ingin menutup hari saya kali ini dengan indah.
Di perjalanan saya pulang, saya melewati Jalan Gajayana, Sumbersari. Jalanan itu adalah salah satu jalanan terpadat di Kota Malang. Sekali lagi saya melihat banyak mahasiswa ber-almamater biru tua di sepanjang jalan itu. Sudah pasti mereka bukan dari angkatan saya (sejak saya kecil, saya mengenal kampus yang saya kuliahi ini mempunyai almamater berwarna biru tua pudar, namun sejak tahun 2008 hingga sekarang, almamater kampus berubah menjadi biru tua gelap, entah apa alasanya).
Kurang lebih 5 kilometer menuju rumah saya, pemandangan langit dan Gunung Putri Tidur tampak sangat dekat. Sangat tegas. Di daerah itu ada sebuah perumahan yang letaknya lebih tinggi dari sekitarnya. Biasanya tempat ini memang dikunjungi banyak orang untuk berkumpul atau sekedar membuang waktu sambil menikmati sajian pemandangan alam yang indah khas dataran tinggi. Dari sebelah timur kita disajikan pemandangan Kota Malang. Sebelah barat dan utara kita bisa melihat Gunung Putri Tidur dan Gunung Arjuna berdiri kokoh. Kompleks perumahan ini tidak banyak ditempati, selain baru, letaknya tidak strategis untuk dijadikan tempat tinggal. Kebanyakan rumah-rumah di perumahan itu hanya digunakan sebagai rumah peristirahatan saja.
Sore itu, sekitar pukul 17.00, saya mengendarai sepeda motor saya, menyusuri jalan-jalan raya di Kota Malang. Beberapa polisi lalu lintas mengisyaratkan tangan mereka pada saya untuk menyalakan lampu kendaraan. Saya menyalakannya lalu setelah beberapa meter saya matikan lagi. Maklum, saya ikut program hemat energi 17.00 - 22.00. Hehehe..
Langit sore itu berwarna kuning keemasan. Salah satu warna langit sore yang paling saya nantikan. Biasanya langit sore seperti itu memang dijumpai di perpindahan musim atau pada bulan-bulan penuh (sekitar tanggal 15 penanggalan masehi). Namun sore itu lain. Seakan suasana sore itu membuat saya tidak sadar bahwa saya lelah. Warna 'mereka' sepertinya ingin menutup hari saya kali ini dengan indah.
Di perjalanan saya pulang, saya melewati Jalan Gajayana, Sumbersari. Jalanan itu adalah salah satu jalanan terpadat di Kota Malang. Sekali lagi saya melihat banyak mahasiswa ber-almamater biru tua di sepanjang jalan itu. Sudah pasti mereka bukan dari angkatan saya (sejak saya kecil, saya mengenal kampus yang saya kuliahi ini mempunyai almamater berwarna biru tua pudar, namun sejak tahun 2008 hingga sekarang, almamater kampus berubah menjadi biru tua gelap, entah apa alasanya).
Kurang lebih 5 kilometer menuju rumah saya, pemandangan langit dan Gunung Putri Tidur tampak sangat dekat. Sangat tegas. Di daerah itu ada sebuah perumahan yang letaknya lebih tinggi dari sekitarnya. Biasanya tempat ini memang dikunjungi banyak orang untuk berkumpul atau sekedar membuang waktu sambil menikmati sajian pemandangan alam yang indah khas dataran tinggi. Dari sebelah timur kita disajikan pemandangan Kota Malang. Sebelah barat dan utara kita bisa melihat Gunung Putri Tidur dan Gunung Arjuna berdiri kokoh. Kompleks perumahan ini tidak banyak ditempati, selain baru, letaknya tidak strategis untuk dijadikan tempat tinggal. Kebanyakan rumah-rumah di perumahan itu hanya digunakan sebagai rumah peristirahatan saja.
![]() |
Pemandangan saat menghadap utara, Gunung Arjuna |
![]() |
Pemandangan saat menghadap timur, Kota Malang dari ketinggian |
![]() |
Pemandangan saat menghadap barat, Gunung Putri Tidur (terlihat dari lekukan tubuhnya, bukan?) |
Saya tiba di tempat paling tinggi perumahan tersebut. Ternyata saya bukan orang satu-satunya yang tertarik dengan suasana sore itu. Sudah banyak orang berkumpul di situ, menikmati pemandangan alam gratis. Beberapa di antara mereka berpasang-pasangan, beberapa lagi keluarga dan sisanya banyak komunitas lain yang tergabung di situ untuk sekedar melepas penat.
Sepeda motor saya parkir di depan truk box milik salah satu cathering ternama di kota ini. Nampaknya beberapa karyawan katering itu baru pulang tugas dan memutuskan untuk beristirahat sejenak ke tempat itu sebelum mereka kembali ke kantor mereka. Saya menyingsingkan celana panjang saya hingga sebatas lutut kemudian mendaki bukit kecil di situ hingga ke tempat yang lebih tinggi lagi.
Demi Tuhan yang saya percayai. Pemandangan matahari tenggelam dan suasana di tempat itu LUAR BIASA indah. Tidak ada satu cacat sedikitpun untuk dikritik. Keindahan mutlak. Untungnya lagi, banyak orang di bawah saya tidak berpikiran sama dengan saya untuk naik selangkah lagi ke atas bukit kecil yang saya pijak ini, sehingga saya merasa ekslusif di puncaknya. Personal antara saya dan alam. Sekali lagi, mata saya berair.
Memang, secara pesona, tempat itu tak sebanding dengan Danau Ranu Kumbolo, Gunung Semeru atau Puncak Gunung Bromo, tetapi paling tidak, sore itu, suasana itu adalah hal yang paling tak terlupakan. Tentu saja, dengan effort yang sangat minim.
Tak jauh dari situ ada sebatang pohon. Besar sekali. Pohon itu tak berdaun. Sela-sela rantingnya dilewati cahaya matahari yang kekuningan. Pohon itu menjadi lebih kelihatan creepy. Saya mulai paham, mengapa orang-orang jaman dahulu berkepercayaan animisme dengan alam.
Matahari turun pelan-pelan. Warna kuning sudah berangsur hilang digantikan warna kelabu. Beberapa sepeda motor mulai turun meninggalkan tempat itu. Begitu juga para remaja komunitas pecinta sepeda BMX dan para karyawan katering tadi. Hari kamis itu secara 'resmi' ditutup dengan 'puncak acara' yang indah.