Kalau nanti otot jantungku sudah lemah,
Kalau nanti tulang-belulangku mulai menyebalkan,
Kalau nanti isi kepalaku terlalu banyak bermimpi,
Aku ingin berbaring sendiri. Berhenti.
Kalau nanti nafasku mulai mereda,
Kalau nanti penglihatanku terlalu menyilaukan,
Kalau nanti janggut dan kumisku tidak lagi hitam,
Aku ingin berbaring sendiri. Berhenti.
Kalau nanti orang-orang sudah tidak lagi peduli,
Kalau nanti orang-orang sudah bergerak terlalu cepat,
Kalau nanti orang-orang mentertawakan birahi dalam tubuhku,
Aku ingin berbaring sendiri. Berhenti.
Kalau nanti aku mulai bersahabat dengan tempat tidur,
Kalau nanti aku mulai mengagumi langit-langit kamarku,
Kalau nanti aku mulai mencari apa saja untuk membantuku berdiri,
Aku ingin berbaring sendiri. Berhenti.
Atau,
Bahkan bila otot jantungku masih kuat,
Bahkan bila tulang-belulangku masih bersahabat,
Bahkan bila isi kepalaku terus berpikir,
Aku ingin berdiri sendiri. Berhenti.
Bahkan bila nafasku terus menderu,
Bahkan bila penglihatanku terlalu jelas,
Bahkan bila janggut dan kumisku masih kasar dan tajam,
Aku ingin berdiri sendiri. Berhenti.
Bahkan bila orang-orang masih menyayangiku,
Bahkan bila orang-orang terlalu lambat bagiku,
Bahkan bila orang-orang masih menghormati birahiku,
Aku ingin berdiri sendiri. Berhenti.
Bahkan bila aku masih sangat membenci dengan tempat tidur,
Bahkan bila aku masih bosan dengan langit-langit kamarku,
Bahkan bila aku masih berlari, melompat, berdiri,
Aku ingin berdiri sendiri. Berhenti.
Aku tidak menakut-nakutimu, Saudaraku.
Aku hanya ingin engkau tahu,
Ini semua tentang sebuah sosok,
Sosok "Waktu-yang-Tidak-Ingin-Orang-Temui" yang terus mencari kita,
Dimanapun engkau berada.
Dimanapun aku berada.
Setiap lidah api lilin di atas kue ulang tahun engkau tiup,
Adalah setiap jengkal ia mulai mendekatimu.
Tidak adil! Ia bisa melihat kita, kita tidak.
Namun saya mencintai kenyataan itu.