"Ada sesuatu di dalam rongga dadaku yang lupa ditutup rupanya. Meluap-luap dan tumpah ruah bagai keran air di atas bak mandi yang kelebihan isi. Bukan di kepala, tapi di dada. Aku sadar, aku masih berpikir menggunakan RASA."
Belum terlalu malam untuk disebut malam. Terlalu larut pula sebuah malam untuk disebut sore. Dalam sebuah kamar tidur kecil berkuran 3x3 meter ini aku berbaring terlentang memandangi dan menekan-nekan tuts keyboard maya pada layar selularku. Aku ingin mentranskrip sesuatu yang aku rasakan detik ini hingga suatu saat nanti aku atau siapapun yang ingin mengenalku agar bisa membacanya.
***
Kota Surabaya tidak terlalu bersahabat dengan orang kelahiran Malang sepertiku. Nyamuk-nyamuk berdesing beterbangan melintasi wajahku bagai peluru. Satu-persatu lagu dari aplikasi radio FM dari selularku berjajar melewati telingaku. Aku tersesat, bukan dalam logika seperti biasa, melainkan dalam perasaanku.
Hidupku sudah agak mendingan. Lebih stabil dari sebelumnya. Saking stabilnya, kadang isi kepalaku gatal untuk menggaruk-garuk borok dalam dadaku hanya untuk sekedar mencari kegiatan. Semacam Stockholm Syndrome, pikiranku merindukan lucunya rasa sakit. Walaupun pikiranku menertawakan pengalamanku, perasaanku tetap mengenalnya sebagai rasa sakit.
Aku merasa, dalam setiap perasaan senang pasti di dalamnya ada perasaan sakit, begitu pula sebaliknya. Sebelum pada akhirnya, waktulah yang menentukan menyenangkan atau tidaknya perasaan tersebut.
Misalkan saja, kita tidak bisa mengecap nikmatnya sambal lalapan ekstra pedas tanpa berakhir dengan perut melilit dan perih di langit-langit. Sebaliknya pula, seperti pengalaman pertama anak laki-laki remaja yang mendapatkan nyeri luar biasa saat pertama kali melakukan onani hingga ia mengenal sebuah orgasme lewat sebuah ejakulasi.
Sebelum suatu proses bermuara pada setiap akhir, di situlah sebuah proses akan mendapatkan rasa yang menyenangkan atau tidak menyenangkan, terlepas dari hasil dari proses itu sendiri.
Paham nggak? Sama, aku juga nggak paham. Lha wong perasaan kok dipahami. Harusnya kan dirasakan kan yes? Hehehe..
***
Kemudian, lepas dari mbuletnya pertikaian kepala dan hatiku. (tsaaah...)
Suara klakson kereta api (atau entah apa itu namanya) terdengar sayup-sayup melintas. Suasana hatiku kembali meluap-luap bak secangkir kopi dingin yang diaduk dasarnya. Aku teringat betapa menyenangkannya duduk di sebelah orang lain yang sama sekali tidak kita kenal dan dipaksa untuk duduk bersebelahan selama belasan jam seolah aku dan orang-orang asing tersebut melempar dadu dengan angka yang sama. Ada perkenalan, canda, curahan hati, keacuhan dan pengalaman yang bisa saling dibagikan. Namun, kembali pada perasaanku sebelumnya, semua itu tidak terlepas dari home sick, boyok yang kesemutan, rasa lapar dan sepat di mulut tanpa asap rokok.
Oh, betapa aku merindukan gelap saat melintasi terowongan kereta, wajah-wajah para pengendara motor yang tidak sabar menanti palang pintu rel kereta dibuka, pepohonan hutan, sawah hijau yang terbentang luas, kabut pagi pedesaan, rumah semi permanen kumuh dekat perlintasan kereta, wajah resah para calon penumpang yang menunggu keretanya datang dan kaki yang bisa ditegakkan sementara saat tiba di tiap stasiun. Perasaanku jadi panas dingin saat membayangkannya.
Hmmm, aku tidak sengaja mendengarkan program breaking news di salah satu radio yang masih kèmrèsèk di telingaku. "Angin telah berubah arah dari selatan menuju ke utara dan akan diikuti dengan beberapa hujan lokal dengan intesitas rendah secara berkala. Perubahan musim yang biasa dikenal dengan sebutan musim pancaroba ini menandakan bahwa musim hujan akan berangsur berganti menuju musim kemarau."
Cukup sedih aku mendengarnya, mengingat bahwa musim hujan adalah musim yang paling indah dari dua musim yang aku kenal. Musim hujan selalu aku sambut dengan ceria di tiap tahunnya, di setiap hujan tiap harinya, di setiap tetes air di tiap kawanannya jatuh menyerbu bumi. Entah mengapa, hujan benar-benar membuatku dingin dan tenang luar dalam. Aku bisa membayangkan wajahku saat hujan tiba, mirip hewan llama yang sedang teler bunga kecubung di musim kawin. Mungkin.
Banyak alasan dan banyak pengalaman yang membuatku jatuh cinta dengan hujan. Mulai dari masa di mana aku pernah merasakan first kiss and first love (tuaek prast, hahaha..), kenangan sekolah dasarku dulu yang asri dan rimbun, bau tanah kering yang terkena basah gerimis awal hujan, jalanan sepi dan licin serta mengkilat di kota Malang yang kini sudah padat, kabut yang turun di tugu balai kota setelah hujan, udara yang segar, butiran air di atas daun, puber masa SMA saat melihat seragam cewek kehujanan, masa mengenal dan menggandrungi alkohol di kampus, masa nyetrit bersama kawan-kawan pemberontak dari segala tempat, suara ribut atap yang tertimpa hujan namun terasa sangat sepi, dan masih banyak lagi. Ah, maaf harus aku akui, aku ereksi hanya dengan membayangkan hujan.
***
Beberapa lagu telah terlewati, bergantian dengan suara penyiar radio yang membacakan info-info selebriti ringan yang sama sekali tidak ingin aku ketahui. Saat musik diputar, kadang aku mengeluh, entah aku mengeluh pada diriku sendiri yang terlalu kolot atau musik sekarang memang tidak seberkualitas musik orang dulu. Ah, biarlah. Sekarang aku sudah terlatih untuk menjadi orang ikhlas.
Tidak bisa aku pungkiri, banyak lagu yang tadi diputar telah melemparkan perasaan dan imajinasiku jauh ke dimensi lain. Aku merasakan bahwa setiap denting piano, petikan gitar, gesekan biola, ketukan drum tiap lagu mempunyai nyawa yang siap membawa perasaan pendengarnya ke arah yang diinginkan para seniman suara tersebut. Nah, selagi menulis tulisan ini, aku mencoba membayangkan, ada berapa musisi telah mencoba membawa perasaanku menuju rimba imajinasi dan perasaan yang mereka buat? Pantas saja aku menjadi sangat perasa. Bah!
***
Hooooaaaamm... Mungkin aku sudah terlalu lelah untuk hidup dalam kehidupan nyata. Nyata yang realistis, material, ada secara fisik, eksak, terhitung, dan bisa diuji. Wonderland dalam kepalaku terlalu indah untuk menjadi nyata. Aku benci sekaligus sayang pada imajinasi, logika dan RASA yang aku miliki sekarang. Surga dan neraka terlalu absurd untuk dipahami, dibayangkan dan dirasakan. Kematian juga terlalu menakutkan bagiku. Mungkin hanya karena aku pernah berpikir dan merasakan, sehingga aku tidak ingin kehilangan keduanya.
Hei, bukankah kematian itu nyata? Saat di mana kita semua tidak lagi mengenal RASA? Di mana kenangan yang tersimpan di kepala; indah dan buruknya akan terbakar oleh api kremasi, dimakan belatung atau rata terlindas ban truk? Untung aku menulis tulisan ini, dengan segala keterbatasan pengetahuan cara menulisku, dengan kerangka yang amburadul, aku ingin berbagi RASA, sebagai bukti bahwa aku pantas disebut orang yang masih hidup.