Sep 23, 2011

Hari Ini Hari (Incredible) Kamis vol 3.0

Saya mengambil setoples kue kering di meja tamu, sisa kue Lebaran bulan kemarin. Beberapa jenis kue masih enak dimakan, beberapa yang lain mending tamu saja yang makan daripada saya yang mules. Sesekali saya melihat jam dinding, pukul 3.40 Jum'at dinihari. Si Hamster sudah capek, mereka sudah berhenti fitness rupanya. Saya masih melanjutkan jurnal singkat hari Kamis tadi.

Siang itu, pukul 14.00 kami berpisah setelah kartu kami mulai berceceran kemana-mana. Saya hendak ke pusat kota untuk membayar tagihan telepon. Sebenarnya saya bisa membayarnya di dekat rumah. Iseng saja saya ingin ke tengah kota, cuci mata. Jalan-jalan di Kota Malang sudah mulai ramai. Beberapa anak berseragam sekolah berjalan kaki di sepanjang trotoar Jalan Veteran. Langit tanpa awan berwarna biru lebih pekat daripada yang sebelumnya. Saya ingat betul, waktu itu saya mendengarkan salah satu lagu Iwan Fals yang berjudul 'Mimpi yang Terbeli' melalui headset saya di sepanjang jalan.

Ada benarnya ucapan Iwan Fals di lirik lagu tersebut.

"Aku ingin membeli, Kamu ingin membeli, Kita ingin membeli, Semua orang ingin membeli.. Segala produksi ada di sini, Menggoda kita untuk memiliki, Hari-hari kita diisi hasutan, Hingga kita tak tahu diri sendiri."

Kira-kira begitulah lirik lagu tersebut. Lucu juga saat itu saya berada di tengah Kota Malang yang penuh sesak dengan baliho, bando jalan, spanduk dan lain sebagainya. Seolah memang media promosi seperti mereka memanggil kita untuk membeli segala macam produksi yang dijual di toko mereka tanpa kita sadar bahwa barang-barang yang mereka jual sebenarnya kurang berguna untuk kita. Ah, lupakan. Mungkin itu hanya perasaan saya saja sebagai salah seorang mahasiswa Sosiologi yang secara tidak sadar 'kurang sepaham' dengan tetangga jurusan saya se-fakultas, Komunikasi. Sang Pemasar.

Saya berhenti di seberang Kantor Telkom Jalan Kayutangan Kota Malang. Sengaja saya berhenti di situ untuk sekedar jalan kaki menyeberang, menikmati sore. Saat itu saya melangkah hendak menyeberang jalan. Lalu lalang kendaraan bermotor sangat ramai. Saya baru ingat kalau memang jalan tersebut tersedia jembatan penyeberangan. Maafkan saya Pak Peni (Orang nomor satu alias Walikota Malang), saya hampir menjadi warga Malang yang tidak disiplin.

Dengan santai saya menaiki anak tangga jembatan tersebut. Aroma pesing (bau urin) tercium sangat menusuk. Pantas orang-orang lebih memilih tertabrak angkutan kota yang kejar setoran daripada melewati jembatan ini. Dari atas, pemandangan Kota Malang cukup aduhai. Gereja Kayutangan tampak megah, 'norak' dengan ornamen gothic, cat warna krem di dekat McDonald yang modern berwarna merah menyala. Pohon-pohon menuju alun-alun sudah terlihat pendek, tidak rindang. Entah karena saya ini yang ketinggian atau karena ditebangi supaya bisa mengalah pada baliho. Kalau memang ditebangi, semoga Tuhan mengampuni dosa orang yang menebanginya. Karena saya tidak bisa. Hehehe..

Gereja Kayutangan Malang, lengkap dengan banyak 'promo' dan McDonald di sampingnya.

Orang gila yang duduk sendiri di jembatan penyeberangan sore itu.

Selangkah lagi, tepat di tengah jembatan penyeberangan, sesosok orang gila duduk dengan nyaman sambil mengobrol sendiri. Saya mendekati orang itu. Ada perasaan iba, jijik dan ingin tahu terbersit di benak saya. Ia berbicara dalam bahasa Jawa khas Malang. Beberapa hal yang sering ia sebut adalah kerinduan pada istri dan anak-anaknya. Seribu kali lebih mengharukan daripada kisah sinetron di Indonesia. Kali ini sisi feminin saya tersentuh. Saya menawarinya selembar uang 2000 rupiah padanya. Ia menolak. Kemudian saya memberinya sebungkus permen mint padanya. Ia menerimanya.

Sejak tahun 2007, saya sangat terobsesi dengan orang gila. Beberapa pengalaman saya, orang gila tidaklah berbahaya, asal kita tidak mengganggu mereka. Mereka tidak peduli kehadiran kita di sekitarnya. Jika pun kita disentuhnya, mereka tidak akan menyakiti kita. Seolah mereka paham bahwa mereka gila, bukan jahat. Ibu saya mati-matian melarang saya bergaul dengan orang gila (nampaknya hal ini absolutely bagi semua ibu normal di seluruh dunia). Kelak, bila saya menjadi seorang ayah, saya tidak melarang anak saya mengobrol dengan orang gila. Asal hanya mengobrol, bukan ikut 'ideologi' mereka.

"Wah, mas, rekeningnya sudah dibayar mungkin. Tidak ada tagihan di sini.." kata si penjaga counter pembayaran rekening telepon.

"Lho, kok telepon rumah saya tidak bisa melakukan panggilan ya mbak?" tanya saya.
"Biasanya bila ada keluhan seperti itu, berarti sudah waktunya membayar, mbak"

"O, coba terus saja mas, biasanya memang jaringan kami trouble" ia mengelak.

"Busyet nih orang. Sudah tahu salah, nggak minta maaf malah suruh coba lagi. Emangnya judi togel. Coba terus." dalam hati saya.

Memang, salah satu mental khas Indonesia ya yang seperti baru saja saya alami. Membayar rekening tepat waktu, masih saja trouble. Membayar tidak tepat waktu, kena denda atau malah dicabut. Oh, salah satu keajaiban mental dunia. Untung ada dua bule cewek melintas di dekat saya. Saya menyapa dan melempar senyum pada mereka, mereka tersenyum sambil melambaikan tangan mereka ragu-ragu pada saya. Hilang sudah penat penjaga counter rekening pembayaran telepon.