Aku termasuk spesies yang disebut manusia. Spesies yang memakan olahan serat kayu dan kemudian dicetak berwarna-warni. Cetakan tersebut sering sekali disebut oleh spesiesku dengan istilah uang. Hal itu membuat seperti yang banyak orang bilang menjadi meleset. "Manusia adalah mahkluk sosial". Itu istilah paling sederhana dan paling meleset dari sejarah manusia. Manusia adalah mahkluk uang. Yang membuat uang untuk mengadakan sosial, yang mengadakan sosial untuk mendapatkan uang, dan akan terus berputar seperti itu.
Sering kali aku berharap aku adalah seekor ulat bulu, kelinci, belalang atau apapun yang tiap hari melahap tanaman dan beranak-pinak dalam jumlah besar. Aku berusaha untuk tidak dimangsa oleh predator meskipun aku harus. Namun apabila aku dimangsa, jasadku bisa digunakan untuk energi selanjutnya, dimakan ayam, musang atau katak, bukan dibunuh sia-sia tanpa dimakan oleh spesiesku atau disimpan di dalam peti mati, disimpan dan ditangisi. Bahkan saat aku mati pun aku tidak membutuhkan olahan serat kayu warna-warni.
Atau aku berharap pula untuk menjadi ular, elang, atau beruang. Aku memakan spesies lainnya, tapi semuanya tetap pada porsinya dan tidak ada yang sia-sia. Aku membunuh dengan cepat, memakan jerohan, meminum darah, dan melestarikan jenisku yang jumlahnya pasti lebih sedikit daripada jumlah mangsaku. Bukan memakan spesies lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit daripada jumlahku. Dan yang jelas aku tidak pernah membunuh spesiesku sendiri hanya karena keinginanku akan olahan serat kayu yang dicetak berwarna-warni itu.
Sungguh, aku menyesal menjadi rantai makanan yang paling atas di dunia ini. Menjadi predator sekaligus pembuang makanan yang paling banyak daripada spesies lain. Bagaimana tidak, spesiesku memproduksi senapan untuk menjauhkan dari predator alami kita. Jumlah spesiesku terus akan bertambah.
Aku menyesal digolongkan menjadi spesies yang berjumlah banyak dan arogan. Aku menyesal menjadi spesies yang berburu di kandang ternak. Aku menyesal menjadi spesies yang merumput di sawah. Aku menyesal menjadi spesies yang harus menukar rumput sawah dan ternak dengan olahan serat kayu warna-warni. Aku menyesal menjadi spesies yang menukar keringat dan isi kepalaku dengan olahan serat kayu warna-warni.
Segala sesuatu yang berbau olahan serat kayu yang dicetak berwarna warni tadi menjadi pusat dari semua kegiatan spesiesku. Aku ambil contoh mudah, aku membasuh tubuh dengan air. Aku makan dan minum dengan campuran air. Air adalah uang bentuk cair. Pernah kamu tahu kijang dan tapir berebut air? Dua spesies bodoh tadi jauh lebih mengerti daripada kita bahwa air bukanlah milik siapa-siapa. Air adalah milik semua makhluk hidup. Spesiesku percaya, air adalah kuota milik spesiesku, hasil tukar dengan olahan serat kayu. Setiap botol air dinilai oleh lembar serat kayu. Setiap kubik yang dilewatkan di pipa-pipa air minum harus ditukar dengan lembar serat kayu. Semunya spesiesku yang bikin. Tidak punya lembar olahan serat kayu? Matilah kehausan. Haha!
Satu aturan aneh lagi. Spesiesku mengharuskan pelatihan khusus bernama sekolah untuk mendapat ekstra olahan serat kayu. Kita tidak secara naluri atau dilatih oleh orang tua kita mencari makan, tapi untuk mencari olahan serat kayu tadi. Masa sekolah pada hakikatnya sama seperti masa dua ekor anak singa yang bercanda saling gigit untuk melatih keahlian berburu mereka kelak. Bedanya, di sekolah juga dilatih bagaimana cara 'memakan' spesies kami sendiri. Oh iya, sekolah juga hanya bisa didapatkan oleh beberapa lembar olahan serat kayu warna-warni.
Coba bayangkan, apa yang kira-kira dipikirkan oleh satwa-satwa di taman safari atau sejenisnya. "Oh, ini, Mahkluk yang buas itu? Makhluk sok akrab yang mengeluarkan suara aneh dan menghabiskan makananku? Mahkluk yang merusak rumahku untuk dijadikan rumah mereka dan akhirnya menempatkanku di sini?? Mengapa mereka melihatku? Apa mereka senang akan nasibku? Hmmm, aku curiga segala sesuatunya pasti berawal dari hasrat mereka untuk mendapatkan lebih banyak olahan serat kayu yang dicetak berwarna-warni itu..".