***
Iya, aku seorang pengangguran sekarang. Tidak kuliah, tidak bekerja, tidak menikah, tidak bahagia, tidak sedih, tidak kaya, tidak miskin, tidak kesepian, tidak mabuk, tidak homeless, tidak mati, tidak hidup, tidak ... Aaaah, aku kini berada di titik paling "tidak" di sepanjang sejarah hidupku. Tugas utamaku sekarang adalah mencegah kata tidak untuk lebih parah merusak pikiranku.
Satu-satunya yang bisa aku banggakan ialah masa laluku. Masa lalu di mana semua yang aku kerjakan adalah suatu kebanggan besar yang menempel dalam hidupku. Kesombongan liar yang terus menggilas risau dua puluh enam tahun terakhir ini. Tahun ke dua puluh tujuh ini, aku harus membayarnya. Aku tidak bisa sombong lagi seperti dulu. Aku tidak lebih mulia dari kompos, pemberi nutrisi untuk tiap tumbuhan yang ada di bawahku untuk bisa menjulang ke atasku.
Semula, pengasingan diri yang aku rencanakan berbuah hasil. Meditasi ala para kesatria pewayangan telah sedikit merapikan jerohan pikiranku kembali ke tempat semula. Namun naas, saat semua hal itu telah kembali ke tempatnya, aku menjadi linglung. Aku bukan seperti diriku yang dulu. Aku kehilangan banyak aku di dalam diriku.
Okelah! Pikirku, paling tidak aku masih bisa berjalan. Namun jejak yang aku tinggalkan juga masih hidup. Jejak-jejak hidup itu terus mendorongku untuk berjalan, meski aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Sekali lagi, aku bukanlah aku yang dulu, yang terus tahu harus kemana waktu itu. Sekarang, aku terus melangkah ke belantara antah berantah. Ranting besar kecil menampari wajahku. Bilur biru kucumbu, bengkak tak kutolak.
Beberapa kawanan domba menggigiti sesuatu di rongga dadaku, entah sesuatu itu apa namanya. Gigi mereka terbuat dari senyum, dukungan keluarga, karir, persahabatan, pertemanan, libido, petualangan, uang, waktu, ide-ide, usia, dan dinamisme. Domba-domba itu tampak bersahabat, bulunya putih bergulung dan bau pesing. Gigitan mereka tidak menyakitkan, namun membuat luka. Ah, aku hanya tidak ikhlas menerima kenyataan bahwa akulah yang membesarkan mereka.
Aku berteman dengan sesosok hantu sejak aku anak-anak. Hantu itu bermata kecil, berhidung lebar, berbibir hitam dan bergigi besar-besar. Dia tidak semenakutkan hantu yang lain. Hantu itu adalah aku sendiri yang mendiami tempurung kepalaku dan melakukan segala sesuatunya di sana. Aku bisa merasakan kehadirannya namun aku tidak dapat memastikan kapan ia akan pergi. Satu hal yang pasti, ia hanya ada di saat aku tidak bersenang-senang atau saat kesenanganku terancam.
Bisa dikatakan bahwa ia-lah satu-satunya sahabatku yang paling setia selama ini. Tujuh bulan terakhir ini, ia tidak pernah meninggalkanku barang sejenak, bahkan saat aku tidur. Mungkin ia tahu, aku membutuhkan teman ngobrol di masa sulitku ini. Hal itu membuatku sadar, tujuh bulan terakhir aku sedang tidak berbahagia.
....
Maaf, aku tidak ingin menyelesaikan tulisan ini. Maaf, berjuta maaf..